I can't believe the way
Your love has got a hold on me
Each morning I wake to find You near
You lift me above my fears
and set my feet on solid ground
All of my days belong to You
And I breathe in Your breath of life that fills my heart
You are my all consuming fire
I stand here before You
In wide opened wonder amazed
At the glory of You
The power of heaven
Revealing your purpose in me
As i'm reaching for you
At the very beginning of our encounter, You were amazing to me. And still. As You are never give up on me, so am i to You. Thank You for everything....
Rabu, 17 Desember 2008
Senin, 20 Oktober 2008
Talk To Yourself
Kita pasti deh pernah (atau sering?) 'bermulut gatal' melihat hal-hal yang menurut kita nggak sepantasnya dilakukan. Maunya dikomentarin, dibenerin dan yang paling parah, dimarahin. "Kok, gitu, sih?" Minimaaaal, kalo nggak berani doing something, pasti pikiran kita yang ngomel-ngomel. Gerah sendiri jadinya.
Kita pasti tunduk (tepatnya terpaksa) pada hukum-hukum yang berlaku di negara kita: naik motor pake helm, tidak menjual bayi, tidak memaksa pendapat pribadi, dll. Hukum ini tentunya punya sanksi yang keras buat siapapun yang melanggarnya. Itu sebabnya, kita pasti akan berpikir 1000 kali sebelum menyelundupkan heroin misalnya. Atau, sibuk cari helm ke sana sini sebelum ngebut naik motor ke jalan raya.
Kita memang cenderung lebih takut pada peraturan yang mempunyai sanksi hukum yang jelas. Bagaimana dengan norma-norma yang merupakan bentuk lain hukum yang dilahirkan dari masayarakat? Yah, kalo tidak mau dimusuhi orang sekampung plus dicap yang enggak-enggak lantaran doyan pake baju super mini atau obral omongan jorok, sok aja atuh!
Ada lagi sebuah ikatan hukum yang cakupannya lebih pribadi lagi, etika. Setiap individu yang hidup dan bersosialisasi memiliki etika pribadi yang mengikat dirinya sendiri dengan kesadaran untuk tidak melakukan sesuatu yang menurut dirinya sendiri enggak banget. Gue, contohnya, paling ketat dalam aturan sampah. Gue mendisiplinkan diri sejak lama tidak membuang sampah sembarangan.
Awal-awal mendisiplinkan diri ini memang sulit karena belum terbiasa. Di keluarga gue, sampah memang ada tempatnya, tapi itu kan cuma berlaku di rumah. Di jalan--apalagi yang nggak kelihatan tempat sampah--, sampah bisa mendarat semau gue. Tapi semakin lama, pikiran, tangan dan hati gue semakin biasa. Kalopun tidak ada tempat sampah, gue nggak sungkan memasukkannya ke tas saja. Sekarang, gue bergidik plus sebel banget melihat orang buang sampah sembarangan. Tidak jarang gue langsung kasih tau tuh orang kalo dia udah buang sampah sembarangan. Buat gue pribadi, masalah sampah adalah masalah super serius! Harus ada sangsi yang ditepati, bukan slogan doang supaya orang jera buang sampah.
Tapi, masalahnya jadi lain kalo kebaikan seseorang pada satu hal dikaitkan dengan kekurangannya pada hal lain yang masih terkait. Misalnya gini: sampah itu selalu terkait dengan lingkungan. Dan, masalah lingkungan saat ini menjadi masalah yang bener-bener masuk fase gaswat karena issue Global Warming yang bikin bumi kita makin gerah aja tiap tahun. Nah, tiap kali gue menyinggung soal bagaimana setiap orang harus bisa mengorganisir sampahnya sendiri, gue di-kick karena masih suka beli teh hijau botolan (nak banget kalo diminum dingin-dingin di hari panassssh). Waduh! Itu memang PR buat gue. Tapi, kasih tahu orang supaya jangan buang sembarangan kan agak beda tema dengan menumpuk botol plastik di tempat sampah ya nggak? Yah, meskipun wacananya sama-sama masalah lingkungan.
Diingatkan hal itu (dan menyamber kesukaan gue yag lain: skin care products. mini perfumes, dll), hati gue langsung ciut. Pembelaan diri gue pada akhirnya jadi konyol karena, honestly, kesukaan gue yang di dalam kurung pun nggak urung ikut menyumbang global warming. OMG! Gue langsung inget filosofi orang nunjuk, satu jari keluar, empat jari ke diri sendiri!
Jadi memang begitulah. Kadang kalau gatal mulut, lebih baik cepet lihat apa yang diri elo sendiri udah lakukan. Kalo 'dosa' elo aja masih lebih besar daripada apa yang elo lakukan, mending evaluasi diri aja dulu, up-grade diri elo dulu sebelum memelototi orang lain. Talk to yourself first! Dalam konteks ini, kata elo mestinya diganti dengan 'gue'.
Kita pasti tunduk (tepatnya terpaksa) pada hukum-hukum yang berlaku di negara kita: naik motor pake helm, tidak menjual bayi, tidak memaksa pendapat pribadi, dll. Hukum ini tentunya punya sanksi yang keras buat siapapun yang melanggarnya. Itu sebabnya, kita pasti akan berpikir 1000 kali sebelum menyelundupkan heroin misalnya. Atau, sibuk cari helm ke sana sini sebelum ngebut naik motor ke jalan raya.
Kita memang cenderung lebih takut pada peraturan yang mempunyai sanksi hukum yang jelas. Bagaimana dengan norma-norma yang merupakan bentuk lain hukum yang dilahirkan dari masayarakat? Yah, kalo tidak mau dimusuhi orang sekampung plus dicap yang enggak-enggak lantaran doyan pake baju super mini atau obral omongan jorok, sok aja atuh!
Ada lagi sebuah ikatan hukum yang cakupannya lebih pribadi lagi, etika. Setiap individu yang hidup dan bersosialisasi memiliki etika pribadi yang mengikat dirinya sendiri dengan kesadaran untuk tidak melakukan sesuatu yang menurut dirinya sendiri enggak banget. Gue, contohnya, paling ketat dalam aturan sampah. Gue mendisiplinkan diri sejak lama tidak membuang sampah sembarangan.
Awal-awal mendisiplinkan diri ini memang sulit karena belum terbiasa. Di keluarga gue, sampah memang ada tempatnya, tapi itu kan cuma berlaku di rumah. Di jalan--apalagi yang nggak kelihatan tempat sampah--, sampah bisa mendarat semau gue. Tapi semakin lama, pikiran, tangan dan hati gue semakin biasa. Kalopun tidak ada tempat sampah, gue nggak sungkan memasukkannya ke tas saja. Sekarang, gue bergidik plus sebel banget melihat orang buang sampah sembarangan. Tidak jarang gue langsung kasih tau tuh orang kalo dia udah buang sampah sembarangan. Buat gue pribadi, masalah sampah adalah masalah super serius! Harus ada sangsi yang ditepati, bukan slogan doang supaya orang jera buang sampah.
Tapi, masalahnya jadi lain kalo kebaikan seseorang pada satu hal dikaitkan dengan kekurangannya pada hal lain yang masih terkait. Misalnya gini: sampah itu selalu terkait dengan lingkungan. Dan, masalah lingkungan saat ini menjadi masalah yang bener-bener masuk fase gaswat karena issue Global Warming yang bikin bumi kita makin gerah aja tiap tahun. Nah, tiap kali gue menyinggung soal bagaimana setiap orang harus bisa mengorganisir sampahnya sendiri, gue di-kick karena masih suka beli teh hijau botolan (nak banget kalo diminum dingin-dingin di hari panassssh). Waduh! Itu memang PR buat gue. Tapi, kasih tahu orang supaya jangan buang sembarangan kan agak beda tema dengan menumpuk botol plastik di tempat sampah ya nggak? Yah, meskipun wacananya sama-sama masalah lingkungan.
Diingatkan hal itu (dan menyamber kesukaan gue yag lain: skin care products. mini perfumes, dll), hati gue langsung ciut. Pembelaan diri gue pada akhirnya jadi konyol karena, honestly, kesukaan gue yang di dalam kurung pun nggak urung ikut menyumbang global warming. OMG! Gue langsung inget filosofi orang nunjuk, satu jari keluar, empat jari ke diri sendiri!
Jadi memang begitulah. Kadang kalau gatal mulut, lebih baik cepet lihat apa yang diri elo sendiri udah lakukan. Kalo 'dosa' elo aja masih lebih besar daripada apa yang elo lakukan, mending evaluasi diri aja dulu, up-grade diri elo dulu sebelum memelototi orang lain. Talk to yourself first! Dalam konteks ini, kata elo mestinya diganti dengan 'gue'.
Minggu, 10 Agustus 2008
Melakolik-Kolerik
Salah satu teman baik gue menuliskan di kolom 'about me'-nya melankolik-kolerik. Ini bukan semacam nama penyakit atau ras asal usul, tapi tipe kepribadian. Saat itu, gue pikir lucu juga cara dia menjelaskan ke banyak orang kalau dia itu manusia bertipe melankolik yang juga dipengaruhi kolerik. Lucu karena cuma dua kata yang mewakilinya. Di 'about me' teman-teman Friendster lainnya, nggak ada tuh yang nulis seiirit ini. Hal menarik yang kedua adalah gue manusia bertipe sama, melankolik-kolerik. Gue baru tahu ketika ikut tes kepibadian yang dibuat kantor gue setelah mengisi 4 lembar pertanyaan dengan jawaban pilihan ganda. Waktu mencoba mengisinya, gue selalu berharap gue tipe orang sanguinis yang dijamin akan disukai banyak orang. Missed it thou! Dalam buku Personality Plus karangan Florence Littauer, orang melankolik-kolerik adalah perpaduan 2 kutub yang berbeda. Melakolik berarti sentimental dan emosional -- bisa diartikan juga si cengeng dan lembek, sedangkan kolerik adalah tipe pengatur, disiplin, kuat hati -- si pemimpin! Ketika sedang membaca hasilnya, gue ketawa sendiri. Hei, gue ternyata si pemimpin cengeng!
Rabu, 18 Juni 2008
Sudah Sebulan...
19 Mei lalu, gue mulai bekerja di Cosmo Girl Indonesia. Jadi, hitungannya udah sebulan. Nggak terasa, ya. Semua orang di sini baik-baik. Gue merasa betah meski gaji gue turun . Bosnya enak, ngomongnya selalu berakhiran gokil dan lucu... Well, so far... Zaldy bilang, jangan bilang begitu dulu. Buktinya, gue cuma betah di Girlfriend 5 bulan saja. Di situ sih, kamp konsentrasi. Oke, subjective! Tapi, gue juga tetap merasa bersyukur sama Tuhan karena diijinin bekerja dengan orang yang begini...begitu... Tapi, Tuhan juga kan memberi gue pilihan. Stay atau nggak. Gue pilih yang terakhir. Dan, ternyata pilihan gue bener. Yah, gue mesti harus bekerja keras di sini, karena orang-orang di sini taunya gue pake koneksi Zaldy. Siapa juga yang nggak kenal dia di sini. I'm just his girlfriend. Yeah, guess i have to live with it. Gapapa. Kewajiban gue di sini kan kerja sebaik-baiknya. Kalo he's got all the credit, so be it. Gue cuma harus membuktikan sama bos gue, which is a she, kalo dia nggak salah memperkerjakan gue. Gue nggak bermasalah dengan 2 jabatan, tingkat usia, bahkan, the girlfriend. Gue cuma mau bekerja dan punya penghasilan untuk biaya hidup gue, keluarga gue, masa depan gue, dan yeah... pelayanan gue. Gue kan nggak sekedar hidup, trus mati! My life is sooooo worth it to be a bitter person. Thank's for the life, J!
Ow, i'm late. Soooo late. It's been 2 months!
Ow, i'm late. Soooo late. It's been 2 months!
Kamis, 29 Mei 2008
Langganan:
Postingan (Atom)