Senin, 20 Oktober 2008

Talk To Yourself

Kita pasti deh pernah (atau sering?) 'bermulut gatal' melihat hal-hal yang menurut kita nggak sepantasnya dilakukan. Maunya dikomentarin, dibenerin dan yang paling parah, dimarahin. "Kok, gitu, sih?" Minimaaaal, kalo nggak berani doing something, pasti pikiran kita yang ngomel-ngomel. Gerah sendiri jadinya.
Kita pasti tunduk (tepatnya terpaksa) pada hukum-hukum yang berlaku di negara kita: naik motor pake helm, tidak menjual bayi, tidak memaksa pendapat pribadi, dll. Hukum ini tentunya punya sanksi yang keras buat siapapun yang melanggarnya. Itu sebabnya, kita pasti akan berpikir 1000 kali sebelum menyelundupkan heroin misalnya. Atau, sibuk cari helm ke sana sini sebelum ngebut naik motor ke jalan raya.
Kita memang cenderung lebih takut pada peraturan yang mempunyai sanksi hukum yang jelas. Bagaimana dengan norma-norma yang merupakan bentuk lain hukum yang dilahirkan dari masayarakat? Yah, kalo tidak mau dimusuhi orang sekampung plus dicap yang enggak-enggak lantaran doyan pake baju super mini atau obral omongan jorok, sok aja atuh!
Ada lagi sebuah ikatan hukum yang cakupannya lebih pribadi lagi, etika. Setiap individu yang hidup dan bersosialisasi memiliki etika pribadi yang mengikat dirinya sendiri dengan kesadaran untuk tidak melakukan sesuatu yang menurut dirinya sendiri enggak banget. Gue, contohnya, paling ketat dalam aturan sampah. Gue mendisiplinkan diri sejak lama tidak membuang sampah sembarangan.
Awal-awal mendisiplinkan diri ini memang sulit karena belum terbiasa. Di keluarga gue, sampah memang ada tempatnya, tapi itu kan cuma berlaku di rumah. Di jalan--apalagi yang nggak kelihatan tempat sampah--, sampah bisa mendarat semau gue. Tapi semakin lama, pikiran, tangan dan hati gue semakin biasa. Kalopun tidak ada tempat sampah, gue nggak sungkan memasukkannya ke tas saja. Sekarang, gue bergidik plus sebel banget melihat orang buang sampah sembarangan. Tidak jarang gue langsung kasih tau tuh orang kalo dia udah buang sampah sembarangan. Buat gue pribadi, masalah sampah adalah masalah super serius! Harus ada sangsi yang ditepati, bukan slogan doang supaya orang jera buang sampah.
Tapi, masalahnya jadi lain kalo kebaikan seseorang pada satu hal dikaitkan dengan kekurangannya pada hal lain yang masih terkait. Misalnya gini: sampah itu selalu terkait dengan lingkungan. Dan, masalah lingkungan saat ini menjadi masalah yang bener-bener masuk fase gaswat karena issue Global Warming yang bikin bumi kita makin gerah aja tiap tahun. Nah, tiap kali gue menyinggung soal bagaimana setiap orang harus bisa mengorganisir sampahnya sendiri, gue di-kick karena masih suka beli teh hijau botolan (nak banget kalo diminum dingin-dingin di hari panassssh). Waduh! Itu memang PR buat gue. Tapi, kasih tahu orang supaya jangan buang sembarangan kan agak beda tema dengan menumpuk botol plastik di tempat sampah ya nggak? Yah, meskipun wacananya sama-sama masalah lingkungan.
Diingatkan hal itu (dan menyamber kesukaan gue yag lain: skin care products. mini perfumes, dll), hati gue langsung ciut. Pembelaan diri gue pada akhirnya jadi konyol karena, honestly, kesukaan gue yang di dalam kurung pun nggak urung ikut menyumbang global warming. OMG! Gue langsung inget filosofi orang nunjuk, satu jari keluar, empat jari ke diri sendiri!
Jadi memang begitulah. Kadang kalau gatal mulut, lebih baik cepet lihat apa yang diri elo sendiri udah lakukan. Kalo 'dosa' elo aja masih lebih besar daripada apa yang elo lakukan, mending evaluasi diri aja dulu, up-grade diri elo dulu sebelum memelototi orang lain. Talk to yourself first! Dalam konteks ini, kata elo mestinya diganti dengan 'gue'.