Rabu, 11 Februari 2009

Yang Sedang Kupelajari....

Jika ia sebuah cinta,
ia tidak mendengar namun senantiasa bergetar.
Jika ia sebuah cinta,
ia tidak buta namun senantiasa melihat dan merasa.
Jika ia sebuah cinta,
ia tidak menyiksa namun senantiasa menguji.
Jika ia sebuah cinta,
ia tidak memaksa namun senantiasa berusaha.
Jika ia sebuah cinta,
ia tidak cantik namun senantiasa menarik.
Jika ia sebuah cinta,
ia tidak datang dengan kata-kata namun senantiasa menghampiri dengan hati.
Jika ia sebuah cinta,
ia tidak terucap dengan kata namun senantiasa hadir dengan sinar mata.
Jika ia sebuah cinta,
ia tidak hanya berjanji namun senantiasa mencoba memenangi.
Jika ia sebuah cinta,
ia mungkin tidak suci namun senantiasa tulus hati.
Jika ia sebuah cinta,
ia tidak hadir karena permintaan namun hadir karena ketentuan.
Jika ia sebuah cinta,
ia tidak hadir dengan kekayaan dan kebendaan, namun hadir karena pengorbanan dan kesetiaan.

almost valentine...

Jumat, 16 Januari 2009

WHO I AM?

The wise person says, the most important thing is not WHO YOU ARE but WHAT YOU HAVE BEEN DOING.

Dalam film Batman Begins, Bruce Wayne bilang begini, "You are what you are doing." Hmm, bisa jadi Bruce salah satu fans filsuf eksistensialis Jean Sastre. Existence precedes essences, begitu semangatnya. Tapi apa benar, apa yang kita kerjakan melebihi siapa kita? Apa betul, seorang manusia terdefinisi dari apa yang sudha dia lakukan semasa hidup? Kalau seorang anak terlahir down syndrome, apakah dia bukan manusia, secara tidak sesuatu yang berarti yang dia bisa lakukan? Atau, barangkali pertanyaan what have you been doing menjadi lebih jelas kalau pernyataannya diubah sedikit saja jadi WHAT OTHER PEOPLE THINK ABOUT YOU? Kalau betul begitu, what a shame!
Bener banget kalau masyarakat 'eksis' membutuhkan pengakuan dari orang lain sebagai bukti dirinya 'ada'. Barangkali kita pernah dengar kalimat, "Lu tahu ga dia siapa?" Atau kata dia bisa diganti dengan "Gue", barangkali? Sesekali, kita memang merasa berarti--minimal buat diri kita sendiri--dengan semua atribut yang melekat pada (bukan dalam!) diri kita. Misalnya saja jabatan di kantor, piala akademis, terpilih ratu ini dan itu. Oh yeah, manusia waras mana yang tidak sibuk mengejar atribut ini untuk 'melengkapi' dirinya? Kekalahan bahkan menjadi semacam alasan untuk menuntut Tuhan mengapa tidak terlahir lebih--pintar, cantik, berbakat, dll. Istilah 'jadi orang' sepertinya cuma diterjemahkan kaya raya dan menjadi bos!
Kalau kita sudah tahu siapa kita di mata manusia, lalu siapakah kita di mata Tuhan? Dalam Alkitab, kita adalah Imago Dei--The Image of God, sebuah citra Allah yang disenandungkan Raja Daud di Mazmur 8. In other words, kita ini semua hanya manusia. Tak lebih, tak kurang. Ada egaliterianisme radikal dalam identitas ini. Ratu Inggris yang memakai mahkota terlangka di dunia sama derajatnya dengan gembel yang mengidap HIV. They both sit upon their own asses, kata Arthur Schoepenhauer. Ironi? Biasa saja. Di dalam kekristenan, kali ini mengutip penulis Phillip Yancey, kita semua saudara--suka tak suka, hormat tak hormat, bangga tak bangga.
Dari kemantapan akan identitas diri yang tertanam pada tindakan TUHAN (bukan KITA), inilah pijakan bagi semua alasan kita bertindak. Selama kita berusaha membangun identitas dengan pencapaian dan prestasi, kita sedang berjuang sia-sia. Tapi jika menerima dulu identitas yang diberikan Tuhan pada kita, semua yang kita lakukan selalu berarti 'sesuatu'.
Terakhir, Maria--ibu Yesus--berkata dalam film Passion of Christ, "Mulai saat ini, orang tidak lagi dinilai dari apa pencapaian dia, tapi dari siapa dia." Dalam semua penjabaran di atas, ada satu pertanyaan yang harus saya jawab dengan jujur, "Apakah gambar diriku sudah pulih?" God bless.