Rabu, 27 Januari 2010
HOPE
Hari ini, harus gue akui, hati gue remuk. Setelah membaca berita yang mencengangkan tentang Aurora di Norwegia (I'd love to see them someday...), perhatian gue teralih ke sebuah berita yang meremukkan hati gue itu.
Ini cerita nyata tentang Lynn Gilderdale, gadis Inggris 31 tahun yang terkena Myalgic Encephalopathy atau ME. Sedikit catatan, ME atau yang dikenal dengan Chronic Fatigue Syndrome (CFS) mempengaruhi hampir semua bagian saraf dan sistem imun tubuh. Gejala umumnya adalah rasa lelah dan letih yang sangat parah, memiliki masalah ingatan, konsentrasi dan otot yang lelah. Akibatnya seseorang tidak akan bisa melakukan apapun dengan kondisi demikian. Penyebab pasti penyakit ini sampai sekarang belum diketahui, tapi beberapa infeksi viral seperti demam yang berhubungan dengan kelenjar serta trauma bisa memicu penyakit ini. Tidak ada obat yang benar-benar efektif mengatasi penyakit ini. Di tahun 1991, Lynn mendapat vaksinasi TBC dan menurut ibunya, Kay, setahun telah imunisasi itu, kondisi kesehatan Lynn menurun. Gadis yang menyukai olahraga dan sangat berbakat di bidang musik--menguasai biola dan piano--ini menulis apa yang dia rasakan setelah 17 tahun. And this is her last diary (seperti yang dilansir Timesonline.com) yang dia tulis di awal tahun 2008.
Don't Resucitate (Jangan Sadarkan Aku)
"Saya tidak tahu bagaimana harus memulainya. Saya hanya ingin mati dan berharap semua orang mengerti dengan alasan dan keputusan saya. Saya sangat, sangat, sangat ingin mati karena sakit ini sudah tak tertahan lagi. Lebih dari 16 tahun saya mengidap penyakit mematikan ini, saya lelah dan merasa tidak bisa menanggung penyakit ini lagi untuk setiap detik, menit dan harinya.
Saya tidak bisa lagi menggantung harapan bahwa suatu hari saya bisa sembuh. Keputusan untuk mati ini sudah sangat lama dan keras saya pikirkan. Saya yakin hanya itu yang saya inginkan untuk saat ini. Meskipun hal ini sudah didiskusikan panjang lebar dengan orang tua saya, tapi mereka benar-benar tidak rela jika saya pergi.
Saya sudah coba mengakhiri hidup dengan menyuntikkan morfin dosis tinggi ke dalam pembuluh darah, tapi ternyata tubuh ini sudah toleran terhadap morfin. Dari situlah orang tua saya pertama kali tahu betapa depresinya saya. Saya sudah berusaha menyembunyikan perasaan tersebut dengan menampakkan wajah ceria di depan mereka. Tapi saya justru diberi obat antidepresi.
Obat-obatan berhasil membuat saya berhenti menangis terus menerus, tapi tidak bisa menghentikan keinginan saya untuk tidak berada di planet ini lagi. Tidak ada yang bisa mengubah pikiran itu. Saya tahu kemungkinan untuk sembuh dan menjalani hidup dengan normal seperti yang saya bayangkan sangatlah tipis.
Rahim saya sudah diangkat. Saya tidak akan pernah bisa mewujudkan keinginan favorit saya untuk punya anak. Saat ini saya berusia 31 tahun dan seharusnya sudah punya pasangan. Tulang saya sudah oesteoporosis, setiap kali batuk atau bersin, risiko patah tulang bisa saja terjadi. Semua impian saya untuk bisa berenang, berperahu, berlari, bersepeda sudah sirna sejak saya mengidap penyakit ini di usia 14 tahun.
Tubuh ini sudah lelah dan semangat hidup saya sudah patah. Saya merasa cukup. Saya mengerti jika orang-orang mengira saya depresi berat, tapi keinginan untuk meninggalkan semua rasa sakit ini terus memuncak. Saya benar-benar ingin mati. Saya tidak tahu lagi berapa jam yang sudah saya habiskan untuk mendiskusikan keinginan ini dengan ibu. Tapi ia selalu berusaha mati-matian mengubah pandangan dan pola pikir saya.
Sampai saat ini saya masih bisa bertahan karena tabung-tabung medis, pompa dan obat-obatan. Tanpa semua teknologi modern ini, saya tidak akan ada disini. Bayangkan Anda berada di sebuah ruangan kecil dan terdampar di atas kasur selama 16 tahun. Bayangkan menjadi perawan di usia 30 tahun dan tidak pernah tahu rasanya ciuman. Bayangkan rasa sakit mempunyai tulang seorang wanita berusia 100 tahun dan tidak bisa bergerak kemana-mana karena risiko patah tulang. Bayangkan ibu Anda mengelap tubuh dan membersihkan kotoran Anda setiap saat. Bayangkan terpenjara di dalam hidup yang menyedihkan.
Saya tidak perlu membayangkan semua itu karena tubuh dan pikiran saya sudah hancur. Saya sangat putus asa dengan sakit ini. Saya mencintai kedua orang tua saya, tapi saya tidak bisa memberikan apa-apa untuk mereka. Saya justru menyandarkan hidup pada mereka dan menyita waktunya. Saya tahu hati mereka sebenarnya sangat hancur dan tidak ingin kehilangan saya. Bahkan mereka mengatakan lebih baik meninggal atau merasakan hal yang sama dengan saya. Saya sangat beruntung punya orang tua yang sangat luar biasa.
Tapi maafkan saya Ibu, Ayah, saya benar-benar ingin mati. Mereka terus menanyakan apakah hal itu yang benar-benar saya inginkan. Saya tidak bisa membayangkan betapa sulitnya ini semua bagi mereka. Saya tahu mereka tidak ingin kehilangan saya, tapi di sisi lain mereka juga tidak ingin saya menderita terus menerus karena penyakit ini. Saya tahu saya sudah bersifat egois karena mendahulukan kepentingan saya di atas kepentingan mereka. Tapi saya tidak bisa melakukan hal ini seorang diri tanpa bantuan orang tua saya".
Sungguh tak terperikan penderitaan yang dialami Lynn. Di penghujung Desember 2008, ibunya, Kay, memberikan bantuan--ia tidak saja menyuntikkan berlipat-lipat dosis morfin, tapi juga memasukkan udara langsung ke pembuluh jantung Lynn.
Berakhirkah penderitaan Lynn? Secara fisik, she's no longer in here. Tidak ada penderitaan di bumi. Tak ada lagi uang yang terbuang untuk membeli life supportings. Tapi, Firman Tuhan jelas menyatakan adalah hak Tuhan untuk mencabut nyawa karena Dia juga yang telah memberikannya. What breaks my heart is mengapa Tuhan seperti diam saja melihat penderitaan ini? Tujuhbelas tahun doing nothing but painful? Bagaimana jika gue yang menjadi Lynn? Meski sanggup membayangkannya, gue sungguh nggak berani menukar hidup yang sekarang gue jalani ini. My heart goes to Lynn Gilderdale...
Seharian ini gue berpikir betapa mahalnya harga kesehatan gue. Betapa ajaibnya Tuhan memelihara gue selama 38 tahun ini... Dan betapa gue bersyukur, dari semua kekurangan yang pikirkan, gue masih bisa berdiri, berceloteh, berlari, menulis, menggendut, mengurus, menyisir, praising and worship, berharap.... Ah, berharap. It's just 4 letters in english, tapi harapanlah yang akan menentukan haruskah kita terus atau berhenti...
Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya, bahwa ia akan menjadi bapa banyak bangsa, menurut yang telah difirmankan: "Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu." (Roma 4:18)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar