Selasa, 03 Agustus 2010
Something Happened on the Way to Heaven
Sepertinya jalan yang kuambil sudah sesuai dengan nilai-nilai Ilahi sehingga kutulikan semua nasihat. Sepertinya aku sudah kudus sehingga kucaci semua cela yang mereka buat. Sepertinya aku sudah begitu dekat dengan surga sehingga aku lupa aku sedang berada di neraka....
Masuk dunia pelayanan bukan hal yang sulit buat Ani. Hidupnya sebelum itu, biasa saja. Tak ada gejolak yang berarti. Tak kurang uang jajan pun sehingga dia tak pernah menimbun rasa iri. Orangtua tak akur? Yah, hanya sesekali. Tidak setahun sekali. Dalam tahun 18 tahun hidupnya, Ani merasa sudah cukup berpuas diri dan ingin memberi hati buat orang lain. Singkatnya, Ani melayani. Rohaninya bergiat dan jalan menuju surga terasa semakin dekat. Sampai suatu hari ia berjumpa seorang pria berwajah sejuta kekaguman yang menawarkan cinta beda 'dunia'. Kuatir kesempatan tak datang dua kali, disambutnya sang cinta. Semua nasihat rohani ditepis hanya karena dinding asmara yang terlanjur dibangun di dalam perasaannya kian menebal. Matanya lebih giat menelusuri kata-kata hangat dari sang kekasih hati di layar telepon daripada ayat-ayat suci di layar yang sama. Telinganya tak lagi peka pada senandung rohani. Ia memilih pujian setipis kain sifon yang fana. Dari rajin sekali, Ani mulai datang gereja sesekali. Lalu tidak sama sekali. Di mana Ani kini? Setelah ditinggal pergi sang pujaan hati yang merampok jiwa raganya, Ani mengunci diri. Yang ada di pikirannya hanya satu mimpi: ingin mati. Ani benar-benar tak pernah sampai ke rumah Bapa. Di dalam dunia pun, roh dan jiwanya sudah mati...
Sebelum masuk dunia pelayanan, saya sungguh berhitung: Apa untung ruginya buat saya? Terus terang, buat saya, pelayanan dan gereja di luar nalar saya. Lebih tepatnya, saya harus meninggalkan semua logika saya di keset Gedung Ventura sebelum bersalaman dengan usher-usher Southers yang manis. Di hadapan Tuhan, kemanusiaan saya yang diukur dari seberapa logis saya berpikir dan seberapa cepat nalar saya bekerja, tidak pernah masuk hitungan. Semuanya menjadi sampah. Ada satu lagu yang punya sebaris kalimat sangat luarbiasa, i cast away my earthly crowns before You... Menilik sistem pelayanan yang dibangun di gereja saya dan saya bukan tipe manusia mau berkomitmen mati untuk semua hal yang mengikat saya di kemudian hari, saya harus mau berpikir dan belajar keras soal pelayanan. Dari TH (sekarang sudah suami) saya yang getol pelayanan, saya mencoba mengunyah kata ini pelan-pelan. Hasilnya? Dalam 3 bulan, barulah saya menyetujui.
Yang saya lakukan pertama kali adalah menjadi operator multimedia. Di awal-awal, saya sering kena tegur Bang Bernard yang waktu ketua profetik karena sering terlambat mengklik atau nggak menyiapkan klip-klip yang diperlukan. Selang beberapa lama, saya sudah lumayan jago men-juggling klik dengan mengedit lagu. Pertama-tama ditegur, sebalnya setengah mati. Tak jarang sampai di rumah saya menangis karena kesal. Kalo boleh membela diri, saya bisa membuat daftar poin-poin kenapa penampilan saya bisa 'cacat' hari itu. Mulai laptopnya yang ngadat, lemot, sampai sayanya yang memang tidak siap. Dan daripada marah lalu mulai merutuki keadaan, saya membenahi sikap.
Pelayanan kedua adalah memiliki anak PA. Sungguh, saya tidak pernah berpikir punya anak PA karena dulu saya merasa tidak jago berhubungan sama orang lain. Apalagi cewek. Khususnya anak remaja cewek. Huh, hidup mereka kan complicated ga penting; Masalah kecil jadi besar, sewaktu-waktu bisa supersensitif, jutek.. argh! PA juga kan artinya bagi hidup, mau jadi pendengar yang baik, sabar, lembut... Percaya atau tidak, dulu itu bukan karakter saya. Saya tidak betah dengerin curhat orang atau curhat sama orang lain. Saya gerah sama orang yang lambat dan tidak taktis. Saya mudah il-fil sama gadis-gadis manja yang bodoh tapi sok kuat. Intinya, saya memang masih egois. Masih mau memikirkan diri sendiri.... Malu dengan kenyataan itu, saya akhirnya berdoa dan meminta anak PA. Setelah dirasa siap, ternyata saya kini punya 5 anak PA. Wah, ajaib juga rasanya...
Masuk dalam dunia pelayanan seharusnya adalah pilihan bukan pelarian. Melarikan diri dalam pelayanan pasti berbuntut kejatuhan. Pelayanan membutuhkan kesiapan lahir batin karena porsi 'aku' mestinya sudah tidak punya tempat lagi. Dan buat saya pribadi, pelayanan ini seperti jalan menuju surga. Sama seperti jalan-jalan lainnya, di jalan yang satu ini juga ada saja hambatannya. Saya mencatat dua terutama:
1. Faktor Internal
Semua kata sifat yang negatif (marah, malas, bosan, you name it)
2. Faktor Eksternal
Semua kata benda (ortu, pacar, teman, waktu, dll.)
Setelah sedikit sekali melakukan riset (tidak menjadi acuan), saya berkesimpulan ada dua faktor juga yang seharusnya kita jadikan prinsip dalam melayani.
1. Faktor Tuhan
Connected..connected..connected... seberapa dekat sama Tuhan akan menentukan seberapa setia dan tahan kita mau diproses dalam dunia yang penuh gesekan ini.
2. Faktor orang lain
Penting banget memilih teman yang tepat. Asalkan kita mau memerhatikan, Tuhan sebetulnya sudah mengatur orang-orang 'rohani' tertentu yang berbicara 'iman' sama kita. Di jalan kita menuju surga, tidak saja ada cowok-cowok rupawan lain 'iman', tapi juga orang-orang yang memberi inspirasi, menantang kita, dan membantu kita meraih mimpi kita. Banyak dari kita yang terjungkal dari jalan ini hanya karena mereka nggak bisa lepas dari orang-orang yang 'salah'. Pilihlah untuk berhubungan sama orang-orang yang mengerti tujuan hidup kita. Percayalah, kita tidak punya banyak waktu untuk bergaul sama orang yang akan menjatuhkan hidup kerohanian kita. Untuk ini, let's fight the good fight.
Seperti juga Ani dan saya, rasanya setiap cewek memang mudah terbuai dengan kata-kata manis. Entah itu kosong atau memang benar adanya. Wanita ingin dijunjung dan disanjung. Perasaannya yang halus ingin dibelai dan dibuai. Wanita, dengan kata lain, ingin menjadi pusat dunia. Di lain sisi, jika ia disakiti, ia akan menyakiti lebih dalam lagi. Cenderung menghancurkan daripada dihancurkan lebih dulu. Membabi buta dalam berkata dan bertindak. Oh yeah, woman is capable doing anything a man can. Saya tidak sedang membuat kesimpulan, hanya saja ingin bersikap jujur. Jatuh dalam masalah perasaan buat saya bukan hal yang luarbiasa. Tapi, buat Tuhan, setiap kejatuhan adalah sesuatu yang luarbiasa. Bukan jatuhnya yang luarbiasa,
tapi kapan mau bangkitnya. Kapan mau menyadari masih ada Tuhan yang bisa membalut hati yang berdarah-darah itu. Siapa pun yang pernah jatuh dan bangkit lagi sepertinya tahu formula ini: balut dulu lukanya sampai sembuh lalu bangkit dan kembali ke berjalan menuju surga. Di mata saya, pelayanan adalah jalan menuju surga karena saya tidak saja bisa melihat apa yang dilihat Tuhan, tapi juga melakukan apa yang Dia kehendaki dalam kehidupan saya. Dan saya mau lakukan yang terbaik buat pelayanan saya: memiliki hati yang lembut dan menyingkirkan potensi batu sandungan di jalan saya menuju surga.
Selamat melayani.
For the honor of your name, O Lord, forgive my many, many sins. Psalm 25:11
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar