Kamis, 10 Juni 2010

The Beautiful part 1


Sheli Jeffry mencari gadis cantik. Sebagai pencari model baru buat Ford, salah satu agen model ternama dunia, Jeffry biasa me-casting 200 gadis muda setiap Kamis siang. Di kantornya di New York, wajah-wajah indah menghiasi sampul majalah Vogue, Glamour, dan Harper's Bazaar. Di luar, gadis-gadis muda yang tengah berharap itu menanti kesempatan besar mereka.

Jeffry sedang melihat tinggi tubuh: minimal 1.8m . Dia mencari remaja: 13 sampai 19 tahun dengan tipe tubuh tertentu.

Yang seperti apa sih tipe tubuhnya?

"Tipis,” katanya. "Tahu kan, cewek kurus di sekolah yang bisa makan apa saja dan kapan saja tanpa naik setengah kilo pun. Mereka ini bisa jadi gantungan baju."

Dalam setahun, Jeffry memeriksa beberapa ribu wajah. Dari ribuan itu, hanya lima atau enam yang akan dipanggil buat dites. Orang cantik punya bayaran yang cantik pula. Model pemula berpenghasilan $1,500 sehari; Nun di puncak sana, $25,000; para supermodel, seperti Kate Moss, bisa empat kali lipatnya!

Jeffry memanggil si calon model pertama masuk.

"Kamu suka difoto?" dia bertanya pada Jessica dari New Jersey. "Suka banget! Aku selalu ingin jadi model," jawab Jessica, wajahnya berbinar seperti lampu.

Yang berikutnya tak kurang pedenya. Marsha dari California ingin 'mencicipi' aura Pantai timur Amerika, sementara Andrea dari Manhattan hanya penasaran apa yang bisa membuatnya jadi bintang di catwalk.

Antrian selesai. Wajah-wajah layu tertunduk dan airmata berlinangan begitu mendengar kalimat, "Bukan kamu yang kami cari saat ini" berulang-ulang. Memupus harapan.

Bukan kamu yang kami cari

Menghadapi kalimat ini, Rebecca dari Providence menyibak rambut gelapnya dan bertanya: "Apa yang kalian cari? Bisa dijelaskan tepatnya?"

Jeffry hampir kehilangan jawaban. Sambil bergumam dia menjawab, "Sulit dikatakan. Tapi saya tahu kalau melihatnya."

Apa itu cantik? Pertanyaan yang mudah sekaligus sulit untuk dijawab.

"Saya sedang menulis tentang kecantikan," kataku pada seorang narasumber. "Kecantikan seperti apa dulu?" potongnya cepat.

Kecantikan seperti apa? Jawabannya juga sulit sekaligus mudah. Kita baru tahu setelah melihatnya—begitulah yang aku pikir. Para filsuf membingkainya sebagai persamaan moral. Apa yang cantik itu baik, kata Plato. Sementara para penyair punya istilah yang lebih mulia. "Kecantikan adalah kebenaran. Kebenaran itu cantik," tulis John Keats, meskipun Anatole France berpikir kalau kecantikan "lebih dalam daripada kebenaran itu sendiri."

Yang lain menerjemahkannya lebih nyata. "Orang datang sama saya dan bilang: 'Pak Dokter, buatlah aku cantik,'" ungkap seorang ahli bedah plastik. Kenyataannya, "Yang mereka cari adalah tulang pipi yang tinggi dan rahang yang tegas."

Ilmu pengetahuan melihat kecantikan dan menerjemahkannya menjadi sebuah strategi. "Kecantikan adalah kesehatan," kata seorang psikolog. "Ada papan iklan yang bilang 'Aku sehat dan subur. Aku bisa meneruskan keturunanmu."

Bagian terbaiknya, kecantikan selalu dirayakan. Dari pejuang Txikão di Brazil yang menato tubuhnya seperti corak jaguar sampai Madonna dengan beha metalnya, umat manusia menikmatinya dalam keseharian atau sebagai topeng agar lebih berkuasa, romantis, ataupun seksi.

Bagian terburuknya, kecantikan jelas memberi perbedaan. Penelitian menunjukkan, orang yang menarik menghasilkan lebih banyak uang, lebih sering dipanggil di kelas, menerima hukuman yang lebih ringan, dan diartikan lebih bersahabat. Kita memang menilai buku hanya dari sampulnya saja.

Tidak ada komentar: